Gus Dur

49

Model kepemimpinan otoriternya semakin menancap dan

semua organisasi dipaksa untuk mengadopsi Pancasila

sebagai ideologi tunggal. NU sebagai organisasi Muslim

terbesar harus memberikan sikap atas kebijakan tersebut.

Gus Dur termasuk dalam salah satu anggota tim yang

dibentuk untuk mengkaji sikap NU terhadap kebijakan

tersebut. Dalam rentang waktu lima bulan, meskipun

sempat menolak, tim tersebut berkesimpulan bahwa

NU harus menerima Pancasila sebagai ideologi tunggal.

Dinamika ini tak hanya berlangsung di Jakarta, tapi juga di

daerah-daerah. Gus Yahya sebagai mahasiswa dan aktivis

HMI di Yogyakarta juga tak luput dari gelombang ini. Ia

merumuskan sendiri respons HMI Komisariat FISIPOL

UGM. Di sisi lain, ia juga mengikuti berbagai manuver Gus

Dur dalam NU untuk merespons dinamika eksternal.

Reformasi yang digulirkan oleh Gus Dur membuat

dirinya semakin populer di kalangan NU. Pada Muktamar

1984 berbagai aspirasi meningkat untuk mengusung

dirinya sebagai Ketua Umum PBNU. Ia menerima aspirasi

tersebut. Walhasil, Gus Dur melenggang menjadi Ketua

Umum. Orde Baru sendiri melihat kepemimpinan Gus

Dur sejalan dengan kepentingan Soeharto karena secara

organisasi Nahdlatul Ulama sangat menerima kebijakan

ideologi tunggal. Adanya irisan kepentingan ini membuat

Gus Dur dan Soeharto sempat cukup dekat. Ia dipercayakan

sebagai indoktrinator Pancasila. Menjelang Pemilu 1987

Gus Dur gencar mengkritik PPP dan secara tidak langsung

memperkuat posisi Golkar. Kedekatan ini tak mengurangi

kekritisan Gus Dur. Dalam beberapa kasus, Gus Dur masih

cukup kritis terhadap Orde Baru, seperti kritiknya terhadap

pemerintah dalam proyek Bendungan Kedung Ombo yang

didanai oleh Bank Dunia. Namun, kritik-kritik tersebut tak